Cegah perkawinan anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Maros melaksanakan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Kecamatan Bontoa, Senin (16/9/2019) dan Kecamatan Maros Baru Selasa (17/9/2019).
Kepala Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak DPPPA Maros Nurani menjelaskan bahwa sosialisasi dilaksanakan sebagai tindaklanjut dari Pasal 20 ayat (1) Perda No 8 Tahun 2018 tentang Kabupaten Layak Anak yang menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan anak serta Instruksi Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Stop Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan.
Sosialisasi bertujuan mendorong partisipasi atau keterlibatan Pemerintah Kecamatan, Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kelurahan/Desa, Tim Penggerak PKK, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan dan Pemuda untuk bersama melakukan pencegahan dengan mensosialisasikan kebijakan dan dampak buruk perkawinan anak, lanjut Nurani.
Kegiatan Sosialissi menghadirkan Narasumber Kepala Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Sul Sel Nur Anti dengan materi Permasalahan Dari Fenomena Perkawinan Anak, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sul Sel Waridah dengan materi Perkawinan Usia Anak Dalam Sudut Pandang Konvensi Hak Anak dan Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan Perkawinan Anak dan Direktur Institue of Community Justice (ICJ) Fery Mambaya dengan materi Pelibatan Multistakholder Dalam Pencegahan Perkawinan Anak sebagai tindak lanjut Kesepakatan Bersama ICJ dan Pemkab Maros Tahun 2018 tentang Program Pencegahan Perkawinan Anak dengan Moderator Nurfadillah Yani (LPA Maros).
Kepala Dinas PPPA Kabupaten Maros Idrus yang membuka kegiatan sosialisasi mengatakan bahwa butuh dukungan dari seluruh pihak di Kecamatan dan Desa/Kelurahan untuk bersama sama melakukan upaya pencegahan perkawinan usia anak karena praktek perkawinan anak berdampak buruk bagi anak.
“Perlu ada regulasi berupa Peraturan Desa/Kelurahan untuk mencegah perkawinan anak, menikah di bawah usia berdampak besar terhadap banyak persoalan. Mulai kesehatan ibu dan anak; maraknya pekerja anak; minimnya keterampilan; pertengkaran dalam perkawinan di bawah usia; hingga berujung perceraian”, lanjut Idrus.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-undang, Senin (16/9/2019). Revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan hanya diizinkan apabila Pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”
Ayat (2)-nya menyebutkan, “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”
Ayat (3) Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib terlebih dahulu mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Revisi UU Perkawinan ditunggu-tunggu masyarakat. Sebab, melalui UU Perkawinan hasil revisi ini sebagai upaya menyelamatkan anak dari praktik pernikahan di bawah umur.
Membatasi usia perkawinan minimal 19 tahun diharapkan karena telah memiliki kematangan raga bisa mendapatkan keturunan yang sehat. Termasuk menurunkan resiko kematian ibu dan anak, serta terpenuhinya hak-hak ibu dan anak.
“Ini perlindungan terhadap anak demi mewujudkan usia emas bagi anak-anak tanpa diskriminasi dan kekerasan terhadap anak,” tutup Idrus.