Tulisan Terfitur

Artefak Kapak Batu

Kapak Batu

Dari segi umur dan cara buat, koleksi artefak batu di Museum Daerah Maros yang dikumpulkan dari situs-situs prasejarah di Kabupaten Maros dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah artefak batu serpih yang sebagian besar diperoleh dari gua-gua prasejarah yang berumur antara 4.000 tahun lalu hingga 10.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai hasil budaya Jaman Praneolitik. Kedua adalah artefak batu yang sebagian besar diperoleh dari situs-situs terbuka di kawasan Mallawa, berumur antara 2.000 tahun lalu hingga 4.000 tahun lalu yang dikategorikan sebagai Jaman Neolitik.

Secara umum, koleksi artefak batu serpih Museum Daerah Maros tergolong dalam fase budaya Praneolitik Maros. Artefak batu serpih Maros dibuat oleh para penghuni gua yang populer disebut sebagai komunitas Toala. Istilah ini diperkenalkan oleh Paul dan Fritz Sarasin dalam bukunya yang berjudul Reisen in Celebes (1905). Teknologi artefak batu serpih Toala merupakan satu-satunya inovasi teknologi alat batu di Asia Tenggara. Inovasi teknologi alat batu Toala terekspresikan pada alat batu yang spesifik bentuk dan fungsinya, seperti mata panah bergerigi (Maros point) dan mikrolit (microlith). Mata panah bergerigi dan artefak batu serpih Toala lainnya jelas menggambarkan fungsinya sebagai alat perburuan dan pengolah makanan. Tempat penemuan artefak batu serpih adalah di dalam gua dalam jumlah puluhan ribu, menggambarkan lamanya aktivitas hunian di dalam gua-gua pegunungan kapur Maros.

Maros point dan mikrolit dibuat dengan teknik yang sangat cermat dan detail dengan frekuensi peretusan yang tinggi. Teknologi alat batu Toala biasa disejajarkan dengan teknologi alat batu Levallois yang berkembang di Eropa pada masa yang sama. Maros point dan mikrolit jelas menggambarkan kemampuan teknik tinggi yang perencanaannya berawal dari bongkahan batu inti bulat. Bahan Maros point dan mikrolit adalah dari jenis batuan chert atau biasa juga disebut batu rijang. Jenis batuan ini dipilih karena mengandung silika (unsur kaca) yang tinggi sehingga mudah dibentuk dan menghasilkan alat batu yang tajam. Batuan rijang banyak dijumpai di dataran banjir sungai pada kawasan batu kapur Maros Pangkep (Duli & Nur, 2016). Secara garis besar, teknik yang digunakan komunitas Toala dalam membuat alat batu adalah teknik penyerpihan dan belum memperlihatkan indikasi pengasahan alat.

Koleksi artefak batu Museum Daerah Maros yang tergolong dari jaman Neolitik adalah kapak dan beliung. Semua koleksi kapak dan beliung Museum Daerah Maros berasal dari beberapa situs di Kecamatan Mallawa, seperti situs Bulu Bakung, Situs Bulu Tana Ugi dan Situs Bulu Uttangnge. Kapak dan beliung batu yang diperoleh dari situs-situs terbuka di Mallawa dibuat dengan menggunakan teknik penyerpihan pada tahap pembentukan dan menggunakan teknik pengasahan untuk memperoleh tajaman alat dan bentuk yang ideal pada tahap kedua. Perbedaan kapak dan beliung terletak pada bentuk bagian tajaman. Bentuk tajaman kapak adalah setangkup dengan bidang yang sama antara sisi kiri dan kanan, sedangkan bentuk tajaman beliung miring pada satu sisi tajaman saja atau menyerupai tajaman pahat. Berdasarkan informasi etnografis, kapak dan beliung sama-sama memakai gagang atau tangkai ketika digunakan. Posisi mata kapak pada gagangnya adalah sejajar sedangkan posisi mata beliung pada gagangnya adalah memotong 90 derajat.

Dari studi etnografi, fungsi kapak dan beliung dapat digunakan untuk mengolah kayu atau menebang pohon yang berukuran lingkar sekitar 50 cm. Jika dibandingkan dengan fungsi alat batu serpih dari jaman Praneolitik, terlihat bahwa penggunaan alat serpih jauh berbeda dengan penggunaan kapak dan beliung dari Jaman Neolitik. Kajian fungsi kapak dan beliung menggambarkan aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan lahan pertanian seperti penebangan pohon untuk pembukaan lahan baru atau pengolahan batang pohon untuk dijadikan sebagai bahan rumah tinggal. Lokasi penemuan kapak dan beliung di Mallawa pada situs-situs padang terbuka merupakan bukti bahwa aktivitas hunian pada bentang lahan pertanian dimulai pada Jaman Neolitik. Analisis umur dari situs-situs dimana kapak dan beliung Mallawa diperoleh adalah antara 3.580 ±130 BP dan 2.710 ±170 BP (Bulbeck, 1996-1997; Simanjuntak, 2008) hingga 2.281 ± 46 BP (Hakim et al., 2009:45). Informasi penting terkait temuan kapak dan beliung dari Mallawa adalah ditemukan bersama fragmen tembikar dalam jumlah ribuan. Data tersebut menguatkan asumsi tentang fungsi situs-situs terbuka di Mallawa sebagai situs hunian Jaman Neolitik. Walaupun belum ditemukan bukti tulang manusia tetapi berdasarkan kajian regional, jenis manusia yang bermukim di situs-situs Neolitik Mallawa adalah ras Mongoloid yang menuturkan Bahasa Austronesia. Meskipun masih bersifat hipotetik, kuat dugaan bahwa manusia penghuni Situs Neolitik Mallawa merupakan leluhur langsung manusia penghuni Pulau Sulawesi sekarang, terutama Sulawesi Selatan.

Tulisan Terfitur

Sejarah Fragmen Gerabah

Fragmen Gerabah

Indonesia telah mengenal gerabah sejak masa bercocok tanam (neolitik), masa perundagian, masa Hindu-Budha, masa Islam, hingga masa sekarang. Bukti penggunaan gerabah di Indonesia dari masa neolitik terekam pada Situs-Situs Arkeologi di Indonesia. Peneliti memperkirakan gerabah mulai dikenal 2.500-1.500 tahun sebelum masehi, ketika tradisi bercocok tanam mulai muncul dan kebutuhan akan tempat penyimpanan mulai dirasakan penting. Penggunaan gerabah kemudian terus berlanjut hingga masa sesudahnya.

Gerabah merupakan merupakan istilah yang lebih umum digunakan di Indonesia untuk merujuk pada tembikar (earthenware) atau barang-barang yang terbuat dari tanah liat bakar. Gerabah adalah temuan penting untuk mengindikasikan permukiman masa lampau dan menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia untuk hidupnya sehari-hari, seperti tempat menyimpan makanan (baik dalam bentuk cair maupun padat), alat mengolah makanan, maupun keperluan lainnya. Pada perkembangannya gerabah tidak hanya memiliki fungsi kebutuhan keseharian tetapi juga fungsi religius. Wadah-wadah gerabah ditemukan di beberapa situs prasejarah sebagai tempat meletakkan jenasah atau tulang manusia pada sistem kubur tempayan. Beberapa gerabah juga ditemukan sebagai tempat untuk menyimpan bekal kubur. Teknik pembuatan gerabah yang dikenal sangatlah sederhana, yaitu dengan teknik tangan. Museum of London berusaha merekonstruksi teknik pembuatan gerabah berbentuk wadah pot pada masa prasejarah.

Pada masa perundagian, teknik pembuatan gerabah mengalami perkembangan dengan menggunakan teknik tatap pelandas dan roda putar lambat. Bentuk wadah yang banyak ditemukan pada masa prasejarah adalah tempayan, periuk, cawan. Gerabah yang ditemukan tersebut melambangkan cara hidup manusia pada masa itu.

Gerabah adalah salah satu benda hasil budaya yang seringkali ditemukan di berbagai situs arkeologi, baik dalam kegiatan survei maupun ekskavasi sebagai data arkeologi, termasuk pada salah satu situs di Sulawesi Selatan, yaitu Situs Neolitik Mallawa.

Situs Neolitik Mallawa terletak pada perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Maros wilayah Desa Sabila Kecamatan Mallawa di sisi utara hingga barat dan Kabupaten Bone wilayah Desa Poleonro Kecamatan Libureng di sisi selatan hingga timur. Situs ini memiliki temuan yang bervariasi seperti alat batu berbagai bentuk dan fragmen gerabah.

Museum Daerah Maros memiliki koleksi fragmen gerabah yang berasal dari situs Neolitik Mallawa berjumlah 11 pecahan, yang dikelompokkan dalam koleksi arkeologi. Pecahan tersebut memang sedikit menyulitkan untuk dianalisis dari sisi bentuk, teknologi, dan konteks secara langsung dengan situs dan lingkungannya. Oleh karena itu, diperlukan kajian koleksi mendalam tentang berbagai jenis fragmen tersebut. Namun secara umum informasi terkait Situs Neolitik Mallawa telah ada sejak tahun 1994.

Banyak penelitian, baik ilmiah maupun terapan, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Balai Arkeologi Makassar, dan sebagainya. Selain penelitian untuk kepentingan riset dan pelestarian, Situs Neolitik Mallawa juga menjadi objek penelitian oleh mahasiswa jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin.

Adapun temuan Situs Neolitik Mallawa, berdasarkan hasil survey penyelamatan lanjutan Situs Neolitik Mallawa tahun 2012 dan 2013 oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut:

  1. Alat batu. Hasil survey penyelamatan tahun 2012, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 1818 buah alat batu berupa alat serpih, kapak, beliung, batu inti, tatap pelandas, batu ike, dan batu asah.
  2. Gerabah. Hasil survey penyelamatan tahun 2012 dan 2013, Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan menemukan 559 fragmen gerabah berukuran kecil hingga sedang, berjumlah 559 buah. Motif hiasnya seperti garis (lurus, tegak, miring dan zig zag), lingkaran—bahkan ada yang sampai tembus dan tumpal. Bagian gerabah yang ditemukan seperti penutup, tepian, bibir, leher, badan, pegangan, kaki dan dasar. Kondisi permukaan terlihat beberapa diantaranya memiliki glasir dan patina. Sebaran fragmen gerabah hanya ditemukan di bagian utara dan selatan lereng serta di puncak Bulu Bakung. Fragmen gerabah yang dimiliki oleh Museum Daerah Maros hampir serupa dengan temuan fragmen gerabah yang diinventaris oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar di Situs Neolitik Mallawa tahun 2017 diindikasikan bahwa situs ini padat huni dikarenakan temuan berlimpah dan relatif dekat dengan gua-gua di Maros. Temuan kapak dan pahat batu yang sudah diupam serta gerabah merupakan indikasi kuat tentang hunian para kelompok penutur Austronesia di wilayah Sulawesi Selatan. Teknologi pembuatan dan pemakaian wadah gerabah yang diperkenalkan oleh kelompok penutur Austronesia, dihubungkan dengan dimulainya tradisi bercocok tanam dan domestikasi hewan.

Peneliti dari Balai Arkeologi melakukan observasi dan ekskavasi pada Situs Neolitik Mallawa dan menemukan batu pelandas yang pada umumnya digunakan sebagai alat untuk meratakan dan membentuk badan dalam proses pembuatan gerabah. Batu pelandas ditemukan pada kotak ekskavasi bersama dengan fragmen gerabah pada kedalaman 60 cm hingga 130 cm. Pada kedalaman 130cm ditemukan gerabah berslip merah.

Hasil analisis mineral terhadap kandungan mineral tanah pada kotak ekskavasi, sama dengan kandungan mineral yang terkandung dalam gerabah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tembikar tersebut dibuat dan diproduksi di sekitar wilayah Mallawa. Temuan kapak batu, beliung, manik-manik dan fragmen tembikar semakin menegaskan karakter situs Mallawa sebagai situs permukiman neolitik yang penting di wilayah timur Indonesia.

Kenalkan Alat Pertanian Zaman Dulu, Disdikbud Maros Gelar Pameran Temporer di Pelataran Mall

Keterangan Gambar : Salah satu pengunjung yang melihat beberapa alat pertanian zaman dulu (dok.museum maros)

Museum Maros— Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Maros, menggelar Pameran Temporer Tradisi Bertani di lantai dasar Grandmall Maros Batangase, Kecamatan Mandai Maros, Sabtu (18/6/2022).

Sekaligus membuka acara, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari sangat mengapresiasi kegiatan tersebut.

Wakil Bupati Maros mengatakan pameran alat-alat tradsional tidak hanya dapat dijumpai ketika masuk kedalam museum, tetapi juga ada dalam Mall.

“Ini termasuk kegiatan yang baik dan pas, selain orang dapat berbelanja alat-alat atau perlengkapan yang modern, pengunjung juga dapat menikmati dan melihat benda tradisional zaman dulu,” katanya. 

Ia berharap, generasi yang ada dikabupaten maros lebih mencontoh hal positif dari pemerintah maros terkait edukasi dan pengetahuan terhadap tradisi-tradisi zaman dulu.

Sementara itu, Kabid Kebudayaan Maros Andi Nurfaidah mengatakan, kegiatan ini bertujuan sebagai manifestasi ketahanan budaya.

“Ini untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat  serta mengedukasi pemuda milenial maupun masyarakat luas terkait alat bertani dulu,” katanya.

Menurut Nurfaidah,  memilih mall atau pusat keramaian masyarakat sebagai pemahaman kembali wujud budaya agar tidak hilang.

“Ini sebagai flashback kembali karena dalam bidang kebudayaan yang makin merosot disuatu daerah, maka terjadi erosi nilai budaya, maka dari itu kita timbulkan kembali dengan kemasan pameran temporer agar masyarakat tahu dalam pertanian dulu itu ada namanya alat seperti ini,” ujarnya.

Menurut Nurfaidah, dalam pameran ini, beberapa alat-alat tradisinonal bertani berusia kurang lebih 2000 tahun yg lalu ditampilkan dengan kondisi yang masih terawat.

“Usia alat-alat ada yang sampai 2000 tahun lalu dengan kondisi yang terawat. Untuk penemuannya sendiri itu dari berbagai daerah di Maros, seperti Mallawa, Tanralili, Simbang dan beberapa daerah di 14 Kecamatan di Kabupaten Maros,” bebernya.

Kegiatan ini juga rencanaan akan dilaksanakan selama dua hari mulai dari tanggal 18-19 Juni 2022. 

“Selama dua hari kami akan melaksanakan dengan memamerkan beberapa alat tradisional seperti Kandao (sabit), Pajjeko (alat bajak sawah), Bingkung (cangkul), Salaga dan alat penumbuk Padi, serta masih banyak lagi,” ujarnya.

Khusus koleksi pertanian yang lainnya, masyarakat dapat langsung ke museum daerah maros yang ada di jalan Lanto Dg. Pasewang tepat berada didepan Polres Maros.

Hadir dalam kegiatan tersebut, Wakil Bupati Maros, Suhartina Bohati, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maros, Karaeng Marusu, Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpor) Maros dan perwakilan lembaga adat serta sanggar seni yang ada di kabupaten maros.

Srikandi Dala Marusu menggelar silaturahmi akbar di Gedung Serba Guna Pemerintah Kabupaten Maros

MUSEUM,MAROS – Srikandi Dala Marusu menggelar silaturahmi akbar di Gedung Serba Guna Pemerintah Kabupaten Maros, Minggu (29/5/2022).

Empat raja hadir dalam acara silaturahmi akbar itu.

Diantaranya Raja Binuang XVIII, Andi Irfan Mappaewang beserta perangkat adatnya.

Kemudian Kedatuan Luwu XXXIX, Andi Bau Iwan Alamsyah Djemma Baru’e beserta perangkatnya.

Raja Gowa ke XXXVIII Andi Kumala Idjo Karaeng Lembang Parang beserta perangkat lembaga adat Kerajaan Gowa.

Serta pemangku adat Bone, Andi Baso Hamid.

Selain raja dan datu serta perangkatnya, juga hadir para pemangku adat, dan 300 komunitas pemerhati adat dan budaya.

Dalam acara silaturahmi akbar tersebut, Srikandi Dala Marusu’ juga akan meluncurkan buku Bunga Rampai Sejarah Maros.

Buku tersebut ditulis oleh Andi Fahri Makkasau Karaeng Unjung dan Andi Isbullah Pallawagau.

Andi Fahri Makkasau Karaeng Unjung mengatakan Buku Rampai Sejarah Maros itu menjelaskan tentang Asal Usul Kabupaten Maros.

Buku ini berisi sejarah Maros mulai dari abad 14 hingga memasuki masa kemerdekaan.

“Setiap kerajaan kami urai, hingga sistem pemerintahannya, sejarah raja-rajanya dan uraian zuriat dan nasabnya,” ujarnya.

Ia mengatakan, keinginan untuk menyelamatkan sejarah butta salewangan ini mendorongnya untuk menyusun buku ini.

“Semata-mata hanya ingin menyelamatkan sejarah, kepentingan masyarakat dan harga diri penerus kita,” ujarnya.

Andi Fahri menyebutkan dirinya membutuhkan waktu 33 tahun untuk merampungkan 10 bab dan 669 halaman buku ini.

“Saya mulai menulis buku ini sekitar 1989 dan baru selesai, siap diluncurkan tahun ini,” tuturnya.

Dalam proses penyusunannya, ia menggunakan berbagai literatur dan juga melibatkan puluhan narasumber.

“Saya menggunakan literatur pokok dari sejarawan yang sudah lebih dulu menulis, naskah-naskah kolonial sebanyak 34, 88 narasumber,” ungkapnya.

Untuk saat ini, buku tentang sejarah Maros ini masih dijual secara manual dengan harga Rp 285 ribu.

“Kita berharap, pemerintah daerah memanfaatkan buku ini untuk menjadi literasi budaya, sehingga pesan-pesan sejarah ini bisa meluas, sehingga penting masuk ke sekolah lebih bagus jika buku ini masuk muatan lokal,” tutupnya.

Sementara itu, Bupati Maros yang turut hadir mengapresiasi kegiatan budaya ini.

“Atas nama pemerintah daerah, saya mengapresiasi pelaksanaan kegiatan silaturahim ini, sebagai salah satu upaya dalam melestarikan dan mempertahankan adat dan budaya di Kabupaten Maros,” katanya.

Dengan adanya ajang silaturahim seperti ini, kata Chaidir, diharapkan akan dapat mendorong berkembangnya pelestarian budaya dan adat istiadat yang secara tidak langsung dapat mendukung pembangunan bidang ekonomi dan sosial budaya dalam upaya kita menuju ke arah pengembangan industri pariwisata.

Tradisi Mudu’ Jolloro’ Jadi Ajang Menarik Wisatawan ke Rammang-rammang

Museum,Maros – Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat dalam menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Sepertihalnya perayaan Maudu’ jolloro’ atau maulid perahu oleh ratusan masyarakat yang bermukim di kawasan wisata alam Rammang-rammang, Desa Salenrang Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.

Sebagaimana perahu yang tidak dapat dilepaskan dari kultur masyarakat Rammang-rammang, sehingga perayaan maulid ditempat ini digelar dengan menggunakan perahu sebagai wadah untuk mengangkut makanan dalam memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW.

“Ini juga salah satu upaya untuk menarik wisatawan, Kami juga berharap kedepan bisa jadi event tahunan yang teratur dengan tetap menyusun konsep swadaya untuk membangun kearifan lokal”. Kata Iwan Dento, pelaksana kegiatan.

Di Desa Maros, berbagai cara aktif dilakukan untuk menarik wisatawan, seperti halnya di multiplayer slots yang melakukan promosi dan bonus untuk menarik pemain. Perayaan berbagai acara, seperti Maudu’jolloro dan hari ulang tahun, mengumpulkan ratusan orang, sehingga berkontribusi terhadap pengembangan kawasan wisata alam. Melalui penggunaan perahu dalam acara tersebut, tidak hanya warisan budaya yang terungkap, tetapi juga upaya untuk menarik perhatian dan mengembangkan infrastruktur pariwisata, mirip dengan bagaimana kasino mengembangkan promosi dan bonus baru untuk pemain. Permainan slot biasanya memiliki serangkaian simbol berbeda yang membentuk kombinasi pada gulungan atau gulungan virtual untuk menang. Kombinasi pemenang mengaktifkan pembayaran kepada pemain. Beberapa slot memiliki putaran bonus, putaran gratis, simbol khusus, atau pengganda yang membuat permainan lebih seru.

Selain sebagai upaya dalam membangun tradisi, untuk menarik wisatawan ke tempat ini. Maulid perahu sejatinya sebagai ungkapan kecintaan pada Nabi Muhammad Saw dan rasa syukur masyarakat pada sang pencipta atas sumber daya alam yang melimpah.

“Tahun ini kita kasi nama maudu’ jolloro’ atau maulid perahu, alasan utama sebenarnya adalah membangun rasa syukur dari masyarakat pelaku wisata di rammang-rammang atas sumber daya alam yang melimpah dan agar keterampilan yang mereka miliki harus disyukuri. Kegiatan ini sebenarnya adalah salah satu cara kami mengajak masyarakat untuk berbagi, silaturahmi bersedekah meskipun bentuknya hanya telur, nasi dan beras”. terangnya.

Tradisi Maulid yang digelar ditempat ini tentu sedikit berbeda dari kebanyakan tradisi maulid yang dilaksanakan masyarakat pada umumnya. Di sini hiasan makanan diarak di sepanjang sungai yang selama ini menjadi daya tarik wisatawan di lokasi itu.

Setidaknya lebih dari 50 unit perahu digunakan oleh warga bersama wisatawan, mengarak ratusan paket makanan berisi telur mulai dari jembatan sungai pute menuju mesjid dermaga 2 Rammang-rammang.

“Yang naik diperahu ada beberapa (turis mancanegara) yang jauh-jauh hari sudah janjian untuk ikut, karena ini momen satu tahun dan objek yang kita pakai adalah perahu yang mungkin jarang ditemui”. pungkasnya.

Mappadendang, Sebuah Tradisi Ungkapan Syukur Masyarakat Usai Panen

Museum,Maros – Mappadendang atau pesta panen, menjadi salah satu tradisi warisan leluhur masyarakat di tanah Bugis-makassar, sebagai ungkapan rasa syukur pada sang pencipta atas hasil panen (padi) yang melimpah.

Tradisi yang juga dikenal dengan sebutan A’dengka ase lolo (bahasa Makassar) atau Mannampu ase lolo (bahasa Bugis) ini, masih terus terjaga dan dilestarikan hingga kini oleh masyarakat di Sulawesi selatan.

Sepertihalnya tradisi Mappadendang yang digelar oleh ratusan warga di Dusun Baniaga, Kecamatan Turikale Kabupaten Maros ini.

Mappadendang atau pesta panen diselenggarakan setiap tahunnya, setelah panen padi atau setelah 10 hari perayaan Idul fitri selama 3 hari berturut-turut.

“Itu pesta panen dilaksanakan setelah panen setelah 10 hari idul fitri, itu dilaksanakan setiap tahun. Ini untuk mensyukuri nikmat Allah kita habis panen”. kata H. Akim Bando, selaku toko adat setempat.

Ditempat ini, ratusan masyarakat seringkali hadir untuk menyaksikan keseruan berbagai rangkaian upacara adat Mappadendang.

Orang-orang datang ke Mappadendang untuk melihat upacara adat, seperti halnya para pemain ice casino datang untuk mendapatkan bonus dan promosi yang bagus. Liburan ini diadakan setelah panen padi atau setelah perayaan Idul Fitri, sama seperti kasino yang secara rutin memperbarui bonusnya untuk menandai acara atau perayaan tertentu. Ratusan orang berkumpul di Mappadendang untuk berpartisipasi dalam upacara dan perayaan, seperti halnya kasino tempat orang berkumpul untuk berjudi dan hiburan.

Sebelum acara dilangsungkan, para peserta baik perempuan maupun laki-laki terlebih dahulu mengenakan baju adat, untuk memulai rangkaian ritual yang disebut Mannampu ase lolo (bugis) atau A’dengka ase lolo (Makassar) yang dapat diartikan dengan menumbuk padi muda.

Dengan kepiawaian para peserta menumbuk (menggunakan Alu terbuat dari kayu panjang) lesung berisi padi muda, sehingga menimbulkan bunyi-bunyian merdu yang berirama. Sesekali sorak-sorai penontonpun turut andil dalam memberi semangat.

Pada prosesnya, padi muda yang dituangkan kedalam lesung sebelumnya diolah oleh peserta lain dengan cara di sangrai sampai matang. Kemudian dituangkan kedalam lesung sebagai proses pemisahan kulit dengan isinya, lalu dibersihkan untuk proses lanjutan.

Tokoh adat setempat H. Akim Bando menerangkan, baik bahan dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini, Semuanya dikumpulkan oleh masyarakat secara sukarela. Seperti halnya hasil panen padi yang dibawah oleh masing-masing masyarakat untuk dikelolah bersama.

“Persiapan kita sampaikan ke masyarakat, kita mau laksanakan mappadendang. Jadi semua masyarakat dilingkungan baniaga ini membawa beras, ada membawa kelapa, gula dan semua perlengkapan yang akan digunakan. Jadi tinggal ketua adat menerima di rumah”. terangnya.

Lebih lanjut iya menjelaskan, setelah proses penumbukan padi muda selesai. Seluruh bahan-bahan yang telah disediakan kemudian dicampur kedalam dua adonan dengan dua rasa yang berbeda.

Untuk rasa manis, padi muda yang telah diolah dicampur menggunakan kelapa dan gula merah. Sedangkan untuk varian rasa gurih dicampur menggunakan garam dan kelapa.

Pada proses penyajiannyapun, hasil olahan ini dinikmati secara bersama-sama. bahkan sebagaian dibagikan pada warga sekitar maupun penonton yang hadir pada acara pesta panen ini.

“Biar perasaan nyaman, kita makan ramai-ramai, perasaan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan resikinya pada kita”. pungkasnya.

Menjejak Sejarah Tanah Maros Melalui Museum Daerah

Museum,Maros- Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dikenal dengan daerah dengan beragam wisata terutama wisata sejarah.

Untuk melestarikan sejarah, Pemerintah Kabupaten Maros mendirikan sebuah museum yang menampilkan sejarah Maros dan sejumlah peninggalan purbakala.

Kepala Bidang Kesenian Dinas Pendidikan dan Lebudayaan Andi Ida Menjelaskan Museum Daerah Kabupaten Maros merupakan museum khusus yang dibangun dengan tujuan sebagai wadah untuk peningkatan pengetahuan dan kualitas pendidikan dengan penyeberan pengetahuan, aktifitas pembelajaran dan rekreasi.

“Ini merupakan museum khusus yang dibangun dengan tujuan sebagai wadah untuk peningkatan pengetahuan dan kualitas pendidikan dengan penyeberan pengetahuan, aktifitas pembelajaran dan rekreasi”,Jelasnya.

Museum daerah maros ini juga dilengkapi dengan penangkaran sebagai media observasi dan pelatihan penangkaran, museum ini mulai didirikan pada 1993 dan terletak di dalam Taman Wisata Bantimurung.

“Alfred Russel Wallace pernah tinggal di Kawasan Bantimurung pada 1856-1857, untuk menikmati pemandangan Bantimurung dan meneliti berbagai jenis kupu-kupu. Koleksi yang terdapat di museum ini berupa ratusan kupu-kupu yang sudah diawetkan dan sebagian besar ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan”,Ucapnya.

Museum Daerah Kabupaten Maros berada di bawah kepemilikan Pemerintah Kabupaten Maros serta dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros.

Tim Ahli Cagar Budaya Maros Temukan Monumen Perabuan Tentara Jepang

Monumen yang diyakini sebagai benda peradaban Tentara Jepang (dok.museum maros)

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Maros, menemukan sebuah monumen diyakini sebagai Perabuan Tentara Jepang, di Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.(07/03/22).

Anggota TACB Kabupaten Maros, Muhammad Nur menjelaskan monumen Peradaban Tentara Jepang yang ditemukan di Maros terdapat 8 tiang beton persegi 4 yang memiliki inskripsi.

“situs monumen Perabuan Tentara Jepang adalah deretan pancangan 8 tiang beton persegi 4 yang memiliki inskripsi,” Jelasnya.

Dikatakannya sisi 8 tiang beton yang memiliki inskripsi hanya di bagian selatan dan utara, sedangkan sisi timur dan barat saling berdempetan rapat Deretan tiang beton berinskripsi yang ditemukan tersebut memanjang dari barat ke timur.

“Jadi sisi 8 tiang beton yang ditemukan memiliki inskripsi ini hanya di bagian selatan dan utara, sedangkan sisi timur dan barat saling berdempetan rapat Deretan tiang beton berinskripsi yang ditemukan tersebut memanjang dari barat ke timur,” Ujarnya.

Meskipun kalimat yang dikandung inskripsi tersebut tidak dapat terbaca secara utuh, tetapi berdasarkan karakter aksara, dapat diidentifikasi huruf-hurufnya yang menggunakan aksara Kanji dan berbahasa Jepang.

” Saat dilakukan penelitian kalimat yang dikandung inskripsi tidak dapat terbaca secara utuh, tetapi berdasarkan karakter aksara, dapat diidentifikasi huruf-hurufnya yang menggunakan aksara Kanji dan berbahasa Jepang,” Katanya.

Situs monumen Perabuan Tentara Jepang ini menempati lahan perkebunan masyarakat, hanya berjarak sekitar 30 meter dari jalan poros Maros-Camba.

Setelah dilakukan penelitian oleh Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Maros kondisi perabuan Tentara Jepang ini masih asli.

” Kondisi monumen Perabuan Tentara Jepang masih asli, dari periode pendudukan Tentara Jepang di Maros antara tahun 1942-1945, Pada beberapa bagian permukaan beton, baik di sisi selatan maupun sisi barat terdapat pengelupasan bahan sehingga terdapat kerusakan inskripsi sekitar 30 % yang menyebabkan tulisan tidak dapat terbaca utuh,”Ucapnya.

Hingga sekarang situs ini belum mendapat sentuhan program pelestarian dari lembaga pemerintah, Kondisinya juga berada pada lingkungan terbuka yang setiap saat dapat dikunjungi oleh siapapun.

” Satu-satunya langkah pelestarian adalah yang dilakukan masyarakat yang tinggal di sekitar monumen yang biasa membersihkan perkebunan tersebut secara berkala,”tambahnya.

Sekedar diketahui hingga sekarang, masyarakat di Kampung Taddeang lokasi ditemukannya monumen perabuan ini masih sering kedatangan rombongan tamu dari Jepang yang ingin melakukan ritual ziarah kubur untuk leluhur mereka.

Bupati Maros Luncurkan Kalender Kegiatan Pariwisata 2022, Beberapa Kegiatan Ada di Museum Daerah

Museum,Maros — Pemerintah Kabupaten Maros (Pemkab) meluncurkan top 44 calendar of event pariwisata 2022.

Kegiatan ini dibuka dengan talkshow calendar launching of event di area CFD Jl Asoka, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, pada Minggu pagi, (27/02/22).

Hadir Bupati Maros, Chaidir Syam, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari, Ketua DPRD Maros, Andi Pattarai Amir serta seluruh tamu undangan.

Bupati Maros, Chaidir Syam mengatakan, peluncuran kalender event ini bertujuan untuk membangkitkan kembali ekonomi masyarakat melalui event maros 2022.

“Alhamdulillah kita baru saja meluncurkan kalender event untuk agenda pariwisata Maros, kita berharap event ini nantinya bisa membangkitkan kembali ekonomi masyarakat kita,” katanya.

Peluncuran Calendar of Event adalah salah satu upaya memulihkan ekonomi disektor pariwisata, mengingat pandemi Covid-19 cukup memukul sektor pariwisata.

“Ini komitmen kita bersama dalam rangka pemulihan meningkatkan ekonomi, memang dunia rekreasi pariwisata harus dihidupkan kembali khususnya di Maros,” katanya.

Ia pun berharap kerja sama dari seluruh stakeholder terkait dalam memajukan sektor pariwisata Maros.

Dengan adanya jadwal kegiatan pariwisata Kabupaten Maros di tahun 2022, wisatawan menjadi lebih tertarik berwisata ke Maros. Selain program kegiatan, para wisatawan juga dipersilakan untuk berkenalan dengan industri game Slotogate.

Musik Tradisional Kecapi Jadi Ajang Promosi Wisata Bantimurung

Museum Daerah Maros – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Maros, menggelar lomba musik tradisional kecapi yang diikuti 18 peserta dari berbagai sekolah dan komunitas sanggar seni di wilayah ini.

Selain sebagai ajang promosi dalam menggaet wisatawan pasca ppkm level 3 turun jadi level 2 di wilayah ini, lomba musik kecapi yang berlangsung di Taman Wisata Alam Bantimurung itu juga bertujuan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan informasi tentang musik tradisional kecapi.

Ferdiansyah, selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kabupaten Maros dalam sambutannya menjelaskan, agar kegiatan ini dapat memberikan informasi pada masyarakat terkait adanya musik tradisional kecapi utamamya pada generasi milenial untuk lebih mengenal budayanya.

“Kegiatan ini kita gelar sebagai upaya kita dalam mendorong potensi wisata budaya yang sebenarnya luar biasa jika dikembangkan. Slain itu, kita juga mau memberikan hiburan ke para pengunjung agar objek wisata kita ini makin dikenal dan semakin banyak peminatnya”. Terangnya.

Lomba musik tradisional kecapi yang diikuti para pelajar sekolah SMP dan SMA ini, juga memperebutkan berbagai hadiah menarik.

“Peserta ada 18 orang terdiri dari pelajar SMP dan SMA sekabupaten maros dan dari komunitas sanggar seni, untuk juara pertama akan mendapatkan 3 jt, juara kedua 2,5 jt , juara ketiga 1,5 juta dan harapan satu 1 juta rupiah”. ungkapnya.

Sementara itu Melalui Kepala Bidang Kebudayaan Maros, Muhammad Saibi Sukure berharap agar kegiatan ini bisa membangkitkan musik tradisional dikalangan generasi penerus.

Apalagi kata dia, saat ini banyak yang tidak mengetahui alat musik tradisional.

“Harapan Pemerintah Kabupaten Maros bagaimana kedepannya supaya musik tradisional kita ini dibangkitkan kembali yang selama ini masyarakat millenial kita sudah banyak yang lupa bahkan tidak mengetahui alat musik tradisionalnya sendiri”. Pungkasnya. (*)

Berdasarkan panduan UNWTO, negara-negara yang selama ini menggantungkan pendapatan melalui sektor pariwisata harus mulai mengembangkan visi pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).

Hal ini penting karena destinasi wisata yang mengembangkan visi ini dianggap mampu terus berlanjut meskipun ada tantangan, tak terkecuali di saat pandemi.

Pariwisata berkelanjutan didefinisikan sebagai pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat setempat.

Pemerintah Daerah Kabupaten Maros, dan Politeknik Pariwisata Makassar siap bekerjasama pada pengembangan pembangunan Kepariwisataan di Kabupaten Maros.

Kesiapan ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemkab Maros melalui Bupati, H.AS Chaidir Syam, SIP,MM dengan Direktur Politeknik Pariwisata (POLTEKPAR) Makassar, Drs Muhammad Arifin, MPd. Penandatanganan kerjasama bertempat di Ruang meeting Hotel Teras Kita Makassar , Jumat (21/5/2021).

Dalam Nota Kesepahaman memuat tujuan kerjasama, yakni mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemkab Maros, melalui jajarannya dimulai dari tingkat Pemerintahan Desa dengan Akademisi, Swasta dan Masyarakat serta Pelaku Budaya dan Pariwisata.

Kemudian mendorong terciptanya sinergi antara Pemkab Maros dengan Poltekpar Makassar, serta meningkatkan pengembangan pembangunan sektor pariwisata di Kabupaten Maros.

Ruang lingkup kegiatan pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Maros meliputi pengembangan SDM di sektor pariwisata, dan perencanaan pengembangan dan pembangunan destinasi, pemasaran, industri dan kelembagaan kepariwisataan di Kabupaten Maros.

Bupati Maros, AS Chaidir Syam mengatakan, Sangat mengapresiasi yang besar terhadap Titik awal Kerjasama ini dan berharap hal ini bisa dilanjutkan secara simultan terlebih saat ini kawasan Geopark Maros Pangkep diusulkan menjadi bagian dari UNESCO Global geopark.

“Kami sangat antusias dengan adanya MOu ini terlebih saat ini Maros merupakan salah satu dari satu kabupaten yang diusulkan menjadi world Heritage Unesco sehingga pengembangan sector pariwisata mutlak dilakukan terutama dengan perlunya peningkatan SDM , Kami berharap dengan Kerjasama dengan POLTEKPAR Makassar bisa mendorong perepatan pengembangan destinasi wisata terutama dalam hal penyiapan SDM dimulai dari tingkat desa , sehinggga perubahan mindset dan perilaku masyarakat terkait sector pariwisata bisa lebih baik lagi,” ungkapnya.

Senada dengan Bupati Maros Direktur PolTekPar Makassar, Drs Muhammad Arifin, MPd sangat menyambut Mou ini dan berharap Politeknik POLTEKPAR Makassar bisa memberi kontribusi dalam hal pengembangan Sektor Wisata di Kabupaten Maros.

“Ini adalah salah satu Langkah positif dalam hal pengembangan destinasi wisata terutama dalam hal mengembangkan desa wisata dimana semua elemen dilibatkan dalam hal pengembangan, hak ini juga bisa lebih efektif karena system yang digunakan adalah buttom up d jadi para pelaku pariwisata dan masyarakat lebih berperan aktif dalam pengembangannya , sis akita menyiapkan SDM yang lebih baik melalui pelatihan dan sosialisasi langsung,“ ungkapnya.

Dalam acara ini Turut Hadir, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Maros, Kadis Pemdes, Kepala Desa Nisombalia, Kepala Desa Bontolempangang dan beberapa stakeholder terkait. (*)

Wakil Bupati Maros ingin situs To Manurung Karaeng LoE ri Pakere di Revitalisasi

MAROS MUSEUM — Sebidang tanah lapang yang dikenal dengan nama Ongkoe yang terletak di Dusun Pakere, Desa Bontotallasa Kecamatan Bantimurung adalah situs yang sangat bersejarah bagi Maros.

Di lokasi itulah dahulu sekitar 600 tahun yang lalu berdiri sebuah Istana Kerajaan di Maros yang pertama dengan Raja bergelar Karaeng LoE ri Pakere, seorang yang. dituliskan dalam manuskrip Lontara Marusu sebagai seorang To Manurung.

“…Karaeng LoE ri Pakere uru Karaeng ri Marusu, iyami To Manurung ri Pakere. nanikanai To Manurung kataniassengi assala kabattuanna…”

begitu bunyi petikan Lontara Marusu yang menjelaskan tentang seorang To Manurung Karaeng LoE ri Pakere sebagai Raja Pertama di Maros. Demikian Penjelasan Tim Ahli Cagar Budaya Maros H. Andi Fahry Makkasau yang juga adalah Ketua Majelis Keturunan Tomanurung Maros.

Dari arti penting situs di Pakere itulah lalu kemudian Pemkab Maros yang disampaikan oleh Ibu Hj Suhartina Bohari menyatakan bahwa dirinya berkeinginan bahwa Ongkoe yang terletak di Dusun Pakere sebagai situs kedatangan To Manurung Karaeng LoE ri Pakere ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan selanjutnya di lokasi tsb direvitalisasi dengan membangun Baruga Karaeng LoE ri Pakere yang kemudian dapat menjadi pusat pelaksanaan acara Adat Tahunan berkenaan dengan Ulang Tahun atau Hari Jadi Maros.

“Kita ingin nama Pakere kembali mendunia sama seperti saat awal kedatangan To Manurung Karaeng LoE ri Pakere yang membuat banyak kerajaan2 tetangga tertarik membuat perjanjian persahabatan termasuk Kerajaan Gowa dan Bone ketika itu dan kejadian ini dicatat dalam Lontara Gowa dan Tallo” kata Ibu Suhartina. Dan kebanggaan ini sangat baik efeknya bagi Generasi Muda kita yang tentu akan makin cinta pada daerah dan negaranya tambah Wakil Bupati.

Niat tsb langsung diamini oleh Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Maros, Ferdiansyah yang saat itu juga meminta Tim Ahli Cagar Budaya Maros utk segera mendesain langkah sesuai regulasi agar situs Karaeng LoE ri Pakere dapat segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
“tugas Pak Andi Fahry dkk sebagai Tim Ahli Cagar Budaya Maros utk segera mengambil langkah – langkah,” pungkas Ferdy singkat.

Selanjutnya Wakil Bupati Maros menyampaikan harapan agar rencana ini segera diwujudkan setidaknya dalam Perubahan Anggaran tahun ini sdh ada langkah yang diambil, sebelum lokasi tersebut yang konon telah berada dalam penguasaan pribadi membangun sesuatu di atas lokasi situs.

Andi Fahry Makkasau, sangat senang mendengar rencana Pemkab Maros yang disampaikan oleh Wakil Bupati tersebut karena menurutnya, dengan menyelamatkan situs Karaeng LoE ri Pakere kemudian melakukan revitalisasi di atasnya, maka kita telah menyelamatkan sebuah situs, saksi bisu yang sangat penting bagi Sejarah Maros, sebab jika kita berbicara Sejarah Maros maka semua harus berawal dari kedatangan Karaeng Loe ri Pakere dengan prestasi dan kiprahnya yang membumi sehingga 5 abad lalu Maros sudah digelar dengan Butta Salewangang, yaitu negeri yang sejahtera lahir dan bathin. negeri yang gema nestiti, tentram kerta raharja. Dan lokasi kedatangannya adalah di Ongkoe Pakere, kunci Fahry.